Minggu, 20 Oktober 2013

Browse Manual » Wiring » » » » » » » » » Museum Penyiksaan Jadi Saksi di Tepi Sungai Rhein

Museum Penyiksaan Jadi Saksi di Tepi Sungai Rhein




Selain menyuguhkan bangunan kuno yang eksotis, Eropa di masa lalu juga menyisakan potret sadis. Penyiksaan kejam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat di masa lampau. Kekuasaan gereja yang sangat dominan di abad pertengahan di Eropa cenderung menyengsarakan. Semua orang yang berusaha melawan gereja, harus mengadapi penyiksaan hidup berkepanjangan.

Galileo Galilei menjadi salah satu korbannya. Penemu teropong bintang itu mempercayai bahwa bumi berputar dan bergerak mengelilingi matahari. Saat itu ajaran gereja secara kuat mempercayai teori yang mempercayai bahwa matahari selalu bergerak mengelilingi bumi. Atas kepercayaan itu, Galileo kemudian dipenjara hingga akhir hayatnya.

Kekuatan fasis di awal hingga pertengahan abad ke-19 di Eropa juga menyisakan sisi buram Eropa. Francisco Franco di Spanyol, Benito Mussolini di Italia, serta Adolf Hitler di Jerman menghadirkan kesengsaraan berkepanjangan bagi sebagian masyarakat Eropa di masa lalu.

Penyiksaan terhadap setiap orang yang dianggap melawan kekuasaan fasis berlangsung sangat sadis. Potret kesadisan itu masih terdokumentasi di museum yang berdiri di kota kuno di tepi Sungai Rhein bernama Rudheseim. Museum itu sendiri bernama Museum Fur Mittelalterliche Rechtsgeschichte.

Museum tersebut berada di bagian tengah pasar souvenir Rudheseim. Dari tepi Sungai Rhein, wisatawan perlu berjalan sekitar 150 meter. Di atas gerbang tertulis jelas nama museum itu. Begitu masuk museum, pengunjug langsung melihat loket penjualan tiket masuk museum. Harga tiket masyarakat umum 5 euro, dan tiket untuk pelajar/mahasiswa seharga 4,5 euro. Suasana menyeramkan langsung terasa begitu pengunjung melewati loket penjualan tiket masuk.

Lantai dasar museum memajang alat-alat penyiksaan seperti kursi paku, pisau besar yang terpasag di tiang-tiang kayu untuk memenggal leher para penentang kekuasaan. Di lantai tersebut juga dipajang berbagai alat untuk mencabik-cabik tubuh manusia. Sebagian alat berbentuk mirip garpu besar, dan sebagian lainnya mirip sikat yang serabut-serabutnya terbuat dari paku tajam. Ada juga kalung bergerigi yang menjadi alat untuk menusuk leher.

Dari pengamatan asalmulane, di lantai dua museum terlihat alat pasung terbuat dari kayu mirip kandang burung berukuran besar. Teks di sebelah alat itu menceritakan bahwa orang yang dihukum pasung baru bisa dibebaskan setelah kayunya lapuk. Karena itu, tidak ada satupun korban hukuman pasung yang bisa bebas dalam kondisi hidup. Mereka semua meninggal sebelum kayu pemasungnya lapuk. Sebelum kayu pemasungnya lapuk, pesakitan yang sudah meninggal itu tetap tidak bisa dibebaskan.

Di dekat pasungan kayu juga terpajang alat penghancur mulut. Alat itu mirip baling-baling yang bisa mekar dan kuncup terbuat dari logam yang ujungnya tajam dan bergerigi mirip gergaji. Alat itu dimasukkan mulut dalam kondisi kuncup dan langsung dimekarkan begitu sudah berada di dalam mulut. Setelah mekar, alat tersebut diputar mirip baling-baling.

Di lantai dua museum tersebut juga dipajang foto-foto kekerasan perang suku di Rwanda, Afghanistan, juga tempat lain. Lantai ketiga museum itu hanya berupa ruang kecil yang remang-remang dan berisi kursi paku serta beberapa alat lain seperti tiang gantung, besi pemukul, beberapa alat mirip pisau besar, dan perangkat penyiksaan yang lain.

Hampir seluruh ruangan museum menyajikan suasana menyeramkan. Selain cahaya merah remang-remang, udara dingin juga terus dihembuskan dari AC ke seluruh bagian museum. Alunan suara mirip lantunan seriosa juga terus diputar sayup-sayup untuk menimbulkan efek yang sangat menyayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar