Minggu, 08 Desember 2013
Browse Manual »
Wiring »
cerpen
»
cinta
»
coklat
»
itu
»
romantis
»
Cerpen Romantis Cinta Itu Coklat
Sejak Rere berada di komplek itu, Andre jadi rajin membeli coklat. Duh, betul-betul Andre dibuatnya berubah. Cantik lagi. Pantas saja Andre mentok banget ‘ma Rere. Padahal Rere rada males kalo melihat penampilan dan tampang Andre. “Uh, kampungan!” begitu ejek batin Rere. Tapi memang di luar dugaan siapa saja, Andre malah makin getol belajar bergaya seperti yang dinasehatin Titik, Dodi, Nino dan teman-teman nongkrongnya. Ih, ndeso banget! “Andre, kamu pernah dengar nggak, untuk mengetahui jenis apa dari seorang cowok, dapat dilihat dari sikap dan ucapannya” Titik kasih nasehat.
“Maksudnya apa, Tik?” Tanya Andre sambil garuk-garuk kepala.
“Ya, sikap kamu harus kelihatan berwibawa dan pintar di depan cewek. Dan ucapan kamu harus kedengeran intelek gak plintat-plintut” Titik menjelaskan. Andre manggut-manggut. Pokoknya Andre nggak pernah asanya putus untuk meminta penilaian teman-temannya mengenai penampilannya. “Ck ck ck….!” Santi berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku Andre.
Malam Minggu yang cerah. Itu harapan Andre. Siapa yang sangka kalo Andre malam itu membawa puluhan batang coklat. Soalnya kata Lala, Rere suka banget ‘ma coklat. Sebagai pendekatan Andre rela bangkrut demi coklat kesukaan Rere.
Esokannya langkah Andre mantap menuju rumah Rere sambil tangan kanannya menjinjing kantong plastik kresek berisi puluhan coklat. Sesampainya di depan rumah Rere, Andre mencari-cari cara membuka pintu pagar. Nggak ketemu juga akhirnya Andre teriak-teriak.
“Permisi, Rere! Hallo…! Rere…. Apa kamu ada di dalam ?” Suara Andre keras sambil tangannya lincah ketak-ketuk pintu pagar pakai batu cincinya. Berisik banget ! Duh, Andre…. Percuma dong dipasang bel pintu di samping pintu. Dasar Andre nggak tau apa fungsi bel di samping pintu ! Pantas kalo Rere marah-marah sewaktu membukakan pintu buat Andre. Yang dimarahi malah cengar-cengir, mesam-mesem, bungkak-bungkuk dan sebagainya.
“Maaf Rere, aku kira … aku kira… itu bel untuk membangunkan kamu tidur jadi nggak aku pencet. Takut mengganggu…hehehe…”
“Heh, biarpun kamu nggak mencet bel itu tapi kamu benar-benar udah mengganggu aku, tau !” Mata Rere melotot lurus ke arah Andre seakan hendak menelan Andre mentah-mentah. Mau nggak ditelan mentah-mentah? (Rasain,lo!)
“Sekali lagi maaf. Aku kesini mau….”
“Mau apa, mau minta sumbangan?”
“Enggak. Bukan minta sumbangan. Aku membawa ini untuk kamu. Coba dilihat dulu” Andre menyodorkan plastik kresek itu pada Rere. “Kamu suka itu semua, kan?”
“Wah, coklat! Kok, kamu tau sih kalo aku suka coklat” Mata Rere yang semula hendak menelan Andre mentah-mentah kini menjadi berbinar-binar riang. “Ayo, masuk dulu, Ndre. Maafin aku, ya? Tadi aku galak, ya sama kamu”
Rere langsung mempersilakan Andre masuk kerumahnya dan langsung menyodorkan plastik kresek berisi coklat.
“Banyak banget kamu membawa coklat, Andre”
“Itu untuk satu minggu. Tapi kalo belum satu minggu udah habis bilang aja ke aku.
“Wah, jadi ngerepotin kamu nih” kata Rere basa-basi.
“Ah, enggak ‘pa-pa. Kalo buat kamu apapun aku lakukan”
“Bener nih” kata Rere sambil mencubit lengan Andre menggoda. Yang dicubit menggeliat manja. Sambil menelan air liur yang dari tadi ngumpul di tenggorokannya.
Termin pertama Andre berhasil membuka perkenalan. Sambil menemani Rere makan coklat, Andre bercerita kesana-kemari. ketawa-ketiwi. Nggak sadar coklat yang dimakan Rere hampir habis. Andre cepat-cepat pamit. Takut Rere minta lagi saat itu juga.
“Oya, ngomong-ngomong aku permisi pulang dulu, ya. Takut mengganggu kesibukan kamu”
“Lho, kok buru-buru” Rere berbasa-basi lagi.
“Kapan-kapan aku kemari lagi bawa coklat sebanyak-banyaknya buat kamu”
“Janji lho. Jangan bohong!” Dicubitnya lagi lengan Andre. Auw! Teriak Andre manja. (Dasar!)
“Iya. Janji. Belah saja dadaku” kata Andre sambil menepuk-nepuk dadanya yang tipis.
“Iya deh. Makasih, ya”
Andre mengangguk sambil melontarkan senyum manis milik Andre yang langka itu. Kini langkah Andre riang. Dari mulutnya terdengar siulan berirama “Separuh Aku”-nya milik NOAH. Duh, rasanya Andre mau buru-buru memberikan coklat lagi supaya bisa ketemu Rere “Oh, Rere, Pujaanku, hidupku terasa belum lengkap tanpa kamu” Andrepun berjalan seperti layaknya seorang Model. Pokoknya tiga ratus enam puluh derajat Andre dipaksa banget-banget berpenampilan beda. Padahal semua itu bertentangan dengan keadaan Andre sebenarnya. Be Your Self, Andre!
“Andre, jadi diri kamu sendiri kan lebih bagus daripada maksa-maksain begitu” nasehat Titik suatu ketika.
“Betul, Ndre!” Nino membenarkan.
“Nggak!” Andre membantah. “kalian tau sendiri kan penampilannya Rere. Dia tuh cewek masa kini. Nggak ada yang menyamakan Rere di daerah sini. Jadi aku harus mengimbanginya. Nggak kayak kamu, Tik” telunjuk Andre kearah Titik yang hampir-hampir mengenai mata Titik. (Upss….!)
“Gila kamu, Ndre. Hati-hati dong. Kena mataku bisa berabe!” Titik protes.
“Sorry. Lagi semangat nih” kata Andre.
“Terus rencana kamu selanjutnya apa ?” tanya Dodi.
Sejenak Andre diam lalu tersenyum. Pandangannya lurus ke jalan. Pikirannya berkeliaran seolah sedang mengolah suatu rencana untuk malam minggu selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya. Sampai suatu ketika di malam minggu yang kesekian kalinya Andre datang ke rumah Rere tanpa sebatang coklatpun.
“Mana coklatnya?” pinta Rere.
“Oh, eh, nggak sempat aku beli. Tadi tokonya tutup sewaktu aku mau beli” Andre berkelit.
“Di swalayan sebelah sana buka 24 jam. Jangan beralasan deh!” Rere nggak mau terima alasan Andre yang rada dibuat-buat. Andre diam tak menjawab. Kepalanya tertunduk.
“Kamu itu sudah biasa membawa coklat. Aku pantang menerima tamu cowok yang nggak membawa apa-apa. Kamu beruntung cuma membawa coklat. Coba perhatikan yang lainnya, mereka membawa mobil. Minimal sepeda motor. Ngerti nggak, sih?” Wajah Rere lurus ke arah Andre. Yang dipandang semakin tertunduk. Ada berjuta rasa bersalah bersarang dalam diri Andre.
“Nih dengerin” kata Rere kembali “Buat cowok, janji adalah pegangan utama, sekali cowok berbohong, selamanya nggak akan dipercaya”
“Jangan gitu dong, Re. Percayalah. Kasih aku kesempatan lagi” Andre memohon. “Please. Please. Please….!”
“Nggak bisa. No time any more! Nggak ada waktu lagi!”
“Terus sekarang aku musti gimana dong?” tanya Andre polos.
“Harus gimana? Ya, pulang aja. Buat apa aku buang-buang waktu cuma sekadar ngobrol nggak ada hasilnya”
Andre tersudut bahkan terpukul. Kepalanya tunduk. Ia pandangi kemeja yang dipinjam dari Dodi, jam tangan yang dipinjam dari Susi dan sepatu yang dipinjam dari Oling. Semuanya nggak berarti. Sebatang coklatlah segalanya. Terus terang kali ini Andre kehabisan modal. Kasihan Andre. Kini ia harus keluar dari rumah Rere dengan membawa seribu kesedihan sejuta kepahitan. Langkahnya lunglai. Tak terdengar lagi “Separuh Aku” dari mulutnya. Andre ambruk di jalan. Pingsan. Beruntung Dodi cepat datang menghampirinya.
“Untung aku lewat sini. Kenapa kamu, Ndre, Sakit?” Dodi merangkul tubuh Andre yang tanpa tenaga ke rumahnya.
Sudah seminggu ini Andre tidak kelihatan batang hidungnya. Teman-temannya khawatir jangan-jangan Andre dirawat di rumah sakit. Keputusan merekapun sepakat untuk mendatangi rumah Andre. Tapi sesampainya di sana, kata Ibunya Andre baru saja keluar rumah. Kemana?
“Barangkali ke rumah Susi balikin jam tangan” kata Titik menebak.
“Atau ke rumah Oling balikin sepatu” Oni ikut-ikutan.
“Oke, kita cari ke rumah Susi dulu baru ke rumah Oling, gimana?” Dodi memimpin.
Semua setuju. Lalu mereka pamit pada orang tua Andre. Mereka berjalan sama-sama mencari Andre.
Di tengah perjalanan rombongan Dodi melihat ribut-ribut di depan toko swalayan. Cepat-cepat mereka menuju tempat kejadian perkara. Ada apa? Ternyata di situ ada Andre. Mukanya babak belur. Hidungnya berdarah. “Ampun….. ampun… !” Andre memohon pada orang-orang yang telah memukulinya. Dodi cepat-cepat menghentikan tindakan oknum-oknum nggak bertanggung jawab itu.
“Kenapa, Ndre?” tanya Dodi sambil menyeka darah dari hidung Andre. Andre tak menjawab. Hanya tangannya yang menggenggam bungkusan bergerak-gerak.
“Dia harus dihajar!” teriak seorang oknum.
“Ya, dia mencuri!” teriak yang lainnya.
Dodi membuka bungkusan yang dipegang Andre. Ternyata puluhan coklat ada di dalamnya. Dodi geleng-geleng kepala.
“Aduh, Andre, kenapa kamu permalukan diri kamu demi coklat ini?” kata Titik sambil menyeka darah yang ada di hidung Andre.
“Ini…. Ini… untuk Rere. Berikan ini pada Rere. Bilang sama dia, aku bener-bener mencintainya…” kata Andre sekejap lalu pingsan.
Kedua kalinya Dodi memapah Andre. Kali ini langsung ke rumah sakit. Ternyata cinta adalah suatu hal yang aneh. Jika kita menggenggamnya terlalu kuat, ia akan mati. Tetapi jika kita menggenggamnya terlalu longgar, maka ia akan lari. Benar juga kata Patty Smith dalam lagunya, “sometimes love just aint enough”. Kadang dengan cinta saja tidak cukup. Harus dengan pengorbanan cinta yang begitu besarnya. Begitu juga yang sedang dialami Andre.
Cerpen Romantis Cinta Itu Coklat
Cinta Itu Coklat
oleh Andri RusliSejak Rere berada di komplek itu, Andre jadi rajin membeli coklat. Duh, betul-betul Andre dibuatnya berubah. Cantik lagi. Pantas saja Andre mentok banget ‘ma Rere. Padahal Rere rada males kalo melihat penampilan dan tampang Andre. “Uh, kampungan!” begitu ejek batin Rere. Tapi memang di luar dugaan siapa saja, Andre malah makin getol belajar bergaya seperti yang dinasehatin Titik, Dodi, Nino dan teman-teman nongkrongnya. Ih, ndeso banget! “Andre, kamu pernah dengar nggak, untuk mengetahui jenis apa dari seorang cowok, dapat dilihat dari sikap dan ucapannya” Titik kasih nasehat.
“Maksudnya apa, Tik?” Tanya Andre sambil garuk-garuk kepala.
“Ya, sikap kamu harus kelihatan berwibawa dan pintar di depan cewek. Dan ucapan kamu harus kedengeran intelek gak plintat-plintut” Titik menjelaskan. Andre manggut-manggut. Pokoknya Andre nggak pernah asanya putus untuk meminta penilaian teman-temannya mengenai penampilannya. “Ck ck ck….!” Santi berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku Andre.
Malam Minggu yang cerah. Itu harapan Andre. Siapa yang sangka kalo Andre malam itu membawa puluhan batang coklat. Soalnya kata Lala, Rere suka banget ‘ma coklat. Sebagai pendekatan Andre rela bangkrut demi coklat kesukaan Rere.
Esokannya langkah Andre mantap menuju rumah Rere sambil tangan kanannya menjinjing kantong plastik kresek berisi puluhan coklat. Sesampainya di depan rumah Rere, Andre mencari-cari cara membuka pintu pagar. Nggak ketemu juga akhirnya Andre teriak-teriak.
“Permisi, Rere! Hallo…! Rere…. Apa kamu ada di dalam ?” Suara Andre keras sambil tangannya lincah ketak-ketuk pintu pagar pakai batu cincinya. Berisik banget ! Duh, Andre…. Percuma dong dipasang bel pintu di samping pintu. Dasar Andre nggak tau apa fungsi bel di samping pintu ! Pantas kalo Rere marah-marah sewaktu membukakan pintu buat Andre. Yang dimarahi malah cengar-cengir, mesam-mesem, bungkak-bungkuk dan sebagainya.
“Maaf Rere, aku kira … aku kira… itu bel untuk membangunkan kamu tidur jadi nggak aku pencet. Takut mengganggu…hehehe…”
“Heh, biarpun kamu nggak mencet bel itu tapi kamu benar-benar udah mengganggu aku, tau !” Mata Rere melotot lurus ke arah Andre seakan hendak menelan Andre mentah-mentah. Mau nggak ditelan mentah-mentah? (Rasain,lo!)
“Sekali lagi maaf. Aku kesini mau….”
“Mau apa, mau minta sumbangan?”
“Enggak. Bukan minta sumbangan. Aku membawa ini untuk kamu. Coba dilihat dulu” Andre menyodorkan plastik kresek itu pada Rere. “Kamu suka itu semua, kan?”
“Wah, coklat! Kok, kamu tau sih kalo aku suka coklat” Mata Rere yang semula hendak menelan Andre mentah-mentah kini menjadi berbinar-binar riang. “Ayo, masuk dulu, Ndre. Maafin aku, ya? Tadi aku galak, ya sama kamu”
Rere langsung mempersilakan Andre masuk kerumahnya dan langsung menyodorkan plastik kresek berisi coklat.
“Banyak banget kamu membawa coklat, Andre”
“Itu untuk satu minggu. Tapi kalo belum satu minggu udah habis bilang aja ke aku.
“Wah, jadi ngerepotin kamu nih” kata Rere basa-basi.
“Ah, enggak ‘pa-pa. Kalo buat kamu apapun aku lakukan”
“Bener nih” kata Rere sambil mencubit lengan Andre menggoda. Yang dicubit menggeliat manja. Sambil menelan air liur yang dari tadi ngumpul di tenggorokannya.
Termin pertama Andre berhasil membuka perkenalan. Sambil menemani Rere makan coklat, Andre bercerita kesana-kemari. ketawa-ketiwi. Nggak sadar coklat yang dimakan Rere hampir habis. Andre cepat-cepat pamit. Takut Rere minta lagi saat itu juga.
“Oya, ngomong-ngomong aku permisi pulang dulu, ya. Takut mengganggu kesibukan kamu”
“Lho, kok buru-buru” Rere berbasa-basi lagi.
“Kapan-kapan aku kemari lagi bawa coklat sebanyak-banyaknya buat kamu”
“Janji lho. Jangan bohong!” Dicubitnya lagi lengan Andre. Auw! Teriak Andre manja. (Dasar!)
“Iya. Janji. Belah saja dadaku” kata Andre sambil menepuk-nepuk dadanya yang tipis.
“Iya deh. Makasih, ya”
Andre mengangguk sambil melontarkan senyum manis milik Andre yang langka itu. Kini langkah Andre riang. Dari mulutnya terdengar siulan berirama “Separuh Aku”-nya milik NOAH. Duh, rasanya Andre mau buru-buru memberikan coklat lagi supaya bisa ketemu Rere “Oh, Rere, Pujaanku, hidupku terasa belum lengkap tanpa kamu” Andrepun berjalan seperti layaknya seorang Model. Pokoknya tiga ratus enam puluh derajat Andre dipaksa banget-banget berpenampilan beda. Padahal semua itu bertentangan dengan keadaan Andre sebenarnya. Be Your Self, Andre!
“Andre, jadi diri kamu sendiri kan lebih bagus daripada maksa-maksain begitu” nasehat Titik suatu ketika.
“Betul, Ndre!” Nino membenarkan.
“Nggak!” Andre membantah. “kalian tau sendiri kan penampilannya Rere. Dia tuh cewek masa kini. Nggak ada yang menyamakan Rere di daerah sini. Jadi aku harus mengimbanginya. Nggak kayak kamu, Tik” telunjuk Andre kearah Titik yang hampir-hampir mengenai mata Titik. (Upss….!)
“Gila kamu, Ndre. Hati-hati dong. Kena mataku bisa berabe!” Titik protes.
“Sorry. Lagi semangat nih” kata Andre.
“Terus rencana kamu selanjutnya apa ?” tanya Dodi.
Sejenak Andre diam lalu tersenyum. Pandangannya lurus ke jalan. Pikirannya berkeliaran seolah sedang mengolah suatu rencana untuk malam minggu selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya. Sampai suatu ketika di malam minggu yang kesekian kalinya Andre datang ke rumah Rere tanpa sebatang coklatpun.
“Mana coklatnya?” pinta Rere.
“Oh, eh, nggak sempat aku beli. Tadi tokonya tutup sewaktu aku mau beli” Andre berkelit.
“Di swalayan sebelah sana buka 24 jam. Jangan beralasan deh!” Rere nggak mau terima alasan Andre yang rada dibuat-buat. Andre diam tak menjawab. Kepalanya tertunduk.
“Kamu itu sudah biasa membawa coklat. Aku pantang menerima tamu cowok yang nggak membawa apa-apa. Kamu beruntung cuma membawa coklat. Coba perhatikan yang lainnya, mereka membawa mobil. Minimal sepeda motor. Ngerti nggak, sih?” Wajah Rere lurus ke arah Andre. Yang dipandang semakin tertunduk. Ada berjuta rasa bersalah bersarang dalam diri Andre.
“Nih dengerin” kata Rere kembali “Buat cowok, janji adalah pegangan utama, sekali cowok berbohong, selamanya nggak akan dipercaya”
“Jangan gitu dong, Re. Percayalah. Kasih aku kesempatan lagi” Andre memohon. “Please. Please. Please….!”
“Nggak bisa. No time any more! Nggak ada waktu lagi!”
“Terus sekarang aku musti gimana dong?” tanya Andre polos.
“Harus gimana? Ya, pulang aja. Buat apa aku buang-buang waktu cuma sekadar ngobrol nggak ada hasilnya”
Andre tersudut bahkan terpukul. Kepalanya tunduk. Ia pandangi kemeja yang dipinjam dari Dodi, jam tangan yang dipinjam dari Susi dan sepatu yang dipinjam dari Oling. Semuanya nggak berarti. Sebatang coklatlah segalanya. Terus terang kali ini Andre kehabisan modal. Kasihan Andre. Kini ia harus keluar dari rumah Rere dengan membawa seribu kesedihan sejuta kepahitan. Langkahnya lunglai. Tak terdengar lagi “Separuh Aku” dari mulutnya. Andre ambruk di jalan. Pingsan. Beruntung Dodi cepat datang menghampirinya.
“Untung aku lewat sini. Kenapa kamu, Ndre, Sakit?” Dodi merangkul tubuh Andre yang tanpa tenaga ke rumahnya.
Sudah seminggu ini Andre tidak kelihatan batang hidungnya. Teman-temannya khawatir jangan-jangan Andre dirawat di rumah sakit. Keputusan merekapun sepakat untuk mendatangi rumah Andre. Tapi sesampainya di sana, kata Ibunya Andre baru saja keluar rumah. Kemana?
“Barangkali ke rumah Susi balikin jam tangan” kata Titik menebak.
“Atau ke rumah Oling balikin sepatu” Oni ikut-ikutan.
“Oke, kita cari ke rumah Susi dulu baru ke rumah Oling, gimana?” Dodi memimpin.
Semua setuju. Lalu mereka pamit pada orang tua Andre. Mereka berjalan sama-sama mencari Andre.
Di tengah perjalanan rombongan Dodi melihat ribut-ribut di depan toko swalayan. Cepat-cepat mereka menuju tempat kejadian perkara. Ada apa? Ternyata di situ ada Andre. Mukanya babak belur. Hidungnya berdarah. “Ampun….. ampun… !” Andre memohon pada orang-orang yang telah memukulinya. Dodi cepat-cepat menghentikan tindakan oknum-oknum nggak bertanggung jawab itu.
“Kenapa, Ndre?” tanya Dodi sambil menyeka darah dari hidung Andre. Andre tak menjawab. Hanya tangannya yang menggenggam bungkusan bergerak-gerak.
“Dia harus dihajar!” teriak seorang oknum.
“Ya, dia mencuri!” teriak yang lainnya.
Dodi membuka bungkusan yang dipegang Andre. Ternyata puluhan coklat ada di dalamnya. Dodi geleng-geleng kepala.
“Aduh, Andre, kenapa kamu permalukan diri kamu demi coklat ini?” kata Titik sambil menyeka darah yang ada di hidung Andre.
“Ini…. Ini… untuk Rere. Berikan ini pada Rere. Bilang sama dia, aku bener-bener mencintainya…” kata Andre sekejap lalu pingsan.
Kedua kalinya Dodi memapah Andre. Kali ini langsung ke rumah sakit. Ternyata cinta adalah suatu hal yang aneh. Jika kita menggenggamnya terlalu kuat, ia akan mati. Tetapi jika kita menggenggamnya terlalu longgar, maka ia akan lari. Benar juga kata Patty Smith dalam lagunya, “sometimes love just aint enough”. Kadang dengan cinta saja tidak cukup. Harus dengan pengorbanan cinta yang begitu besarnya. Begitu juga yang sedang dialami Andre.
Tamat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar